Kamis, Juni 11, 2009

Membangun Saling Percaya dalam Hubungan Percintaan

Saling jatuh cinta saja seringkali belum cukup membuat orang langsung menikah, meskipun ada juga yang nekat melakukannya. Pada umumnya setelah saling jatuh cinta, para pasangan masih memerlukan proses membina hubungan hingga mereka benar-benar mantap sebagai pasangan. Dan pada umumnya dengan pernikahan seseorang ingin hidup bahagia sepanjang masa bersama pasangan. Sungguh terasa sangat manis ketika menjumpai berbagai pasangan muda yang memasuki gerbang perkawinan dengan masa pacaran yang cukup, dan memasuki perkawinan dengan mantap. Ketika memasuki perkawinan keduanya telah meyakini kualitas pribadi pasangan dan optimis akan hidup bahagia bersama. Sebagian dari pasangan bahagia ini adalah orang-orang muda yang memiliki kepribadian relatif stabil, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis. Ada yang melewati masa-masa pacaran tanpa banyak gejolak, sebagian yang lain telah melalui masa-masa pengembangan hubungan yang bergejolak. Cemburu atau rasa kurang percaya merupakan hal yang cukup lumrah terjadi ketika dua insan mulai membangun komitmen hubungan jangka panjang

Tahapan pengembangan hubungan percintaan (Deaux et al., 1993):

1. Tahap perkenalan
Pada tahap ini terbentuk kesan pertama, dan selanjutnya terjadi interaksi.


2. Tahap pembentukan hubungan yang nyata

Pada tahap ini terjadi peningkatan saling ketergantungan. Terjadi peningkatan interaksi dan kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi untuk hubungan tersebut; mengoordinasikan aktivitas satu sama lain; dan mengantisipasi interaksi yang menyenangkan di masa yang akan datang.

3. Tahap mempererat hubungan

Kemajuan dalam tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya. Contohnya, pasangan yang bercinta sering mengidealkan pasangannya, tetapi akhirnya menemukan karakteristik tidak ideal pada pasangannya.
Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan, “Cemburu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”.
Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga diri (self-esteem) atau status. Sementara pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.

4. Tahap perkembangan komitmen yang nyata

Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku. Salah satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan (trust).
Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada tahap keempat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta. Meski demikian, pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya komitmen tersebut.





Baca Selanjutnya.....

Memahami Perkembangan Kita

Orang bilang, masa remaja itu masa yang paling indah, ekspresif, produktif. Tapi, kita juga dibilang sok tau, seenaknya, dan kurang bisa menghormati orang dewasa. Jadi, kita sebenarnya gimana, sih? Ada berbagai aspek perkembangan yang kita alami, antara lain berkaitan dengan aspek sosial, emosional, konsep diri, heteroseksual dan kognitif. Yuk kita bahas satu-satu

Perkembangan sosial

Semula kita memang bertingkah laku sebagai anak-anak, ketika kita dalam tahap usia anak-anak, kemudian menjadi remaja lalu serta-merta orang dewasa memosisikan kita bisa berperilaku dewasa, menyesuaikan diri dengan peran-peran dewasa dan melepaskan diri dari peran-peran sebagai anak-anak. Di sinilah titik pangkal yang menyebabkan kita berada dalam kondisi yang sulit. Maka, timbullah kebutuhan kita, misalnya akan identitas diri, individualitas bahkan kebutuhan akan kemandirian. Nah, ketika kebutuhan tersebut muncul dan orang dewasa tidak memahaminya, lagi-lagi inilah yang sering menjadi sumber permasalahan kita dengan orang dewasa atau lingkungan kita.

Kita mungkin pernah mengalami kebingungan ketika menghadapi benturan nilai teman-teman dengan ortu. Rasanya sudah enggak sabar ingin lepas dari pengaruh ortu, berusaha mandiri, dan punya keputusan sendiri. Misalnya memutuskan untuk tampil cool dengan ikutan merokok bareng teman-teman lain. Padahal, merokok amat sangat dilarang oleh ortu.

Benturan nilai ini akan sering kita hadapi. Pada contoh yang lebih ringan adalah pemberlakuan jam malam. Kita mungkin harus sudah sampai rumah paling telat pukul sepuluh. Jadi, selamat tinggal party-party yang baru mulai pukul sepuluh malam. Sementara itu, banyak teman yang orangtuanya membolehkan mereka ikutan party sampai tamat.

"Perang dunia" menahun bakal terjadi, dan bukan enggak mungkin bakal kronis, jika kita bukan tipe anak yang punya hubungan hangat dengan orangtua. Hubungan itu malah akan membangun semangat saling mau mengerti antara kita dan ortu. Iyalah, ortu mana sih yang rela melepas anaknya pulang malam untuk datang ke acara (yang menurut mereka) enggak juntrung? Sebaliknya, anak mana sih yang enggak ngomel berat dilarang datang ke party paling cool sedunia sama ortunya?

Hubungan yang hangat dalam keluarga membuat kita mau menerangkan perasaan kita. Dan, ortu pun akan rela hati mendengarkan kita, juga mau menjelaskan alasan pelarangan itu dalam bahasa yang nyantai. Seringnya membuat kesepakatan antara kita dengan ortu, akan sangat membantu perkembangan diri kita. Termasuk perkembangan kehidupan sosial kita

Perkembangan emosi

Bentuk atau jenis emosi pada manusia itu ternyata banyak, misalnya; takut, khawatir, cemas, marah, sebal, frustrasi, cemburu, iri hati, ingin tahu, sayang, cinta benci dukacita, bahagia, dan masih banyak lagi. Lalu apa hubungannya dengan kita? Ternyata jenis atau bentuk emosi yang disebut tadi memiliki ciri-ciri perkembangan yang berbeda-beda dalam setiap tahapan perkembangan manusia. Dalam tahap remaja seperti kita sekarang ini ciri-ciri perkembangan emosi kita sebagai berikut:

• Lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan meledak-ledak.

• Kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai akhirnya kembali dalam keadaan semula.

• Emosi yang muncul sudah bervariasi, bahkan kadang bercampur-baur antara dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan. Misalnya, benci dan sayang dalam satu waktu.

• Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi (sayang, cemburu, dan sebagainya).

• Mudah tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap cara orang lain memandang kita. Tapi ini juga sangat tergantung dari perkembangan konsep diri kita.

Lalu bagaimana sebaiknya kita menghadapinya? Agar semuanya terjadi secara wajar, kita perlu upaya pengendalian emosi ataupun juga menghindari beban emosi. Caranya:

• Kita harus belajar menghadapi segala situasi itu dengan sikap yang rasional.

• Kita juga harus menghindari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat membangkitkan emosional. Kalau mengalami sesuatu yang bikin marah atau sedih, jangan kebawa emosi dulu.

• Memberikan respons terhadap situasi dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebih-lebihan, proporsional sesuai dengan keadaannya, dengan cara yang bisa diterima lingkungan sosial kita.

• Mengemukakan emosi positif kita (senang, bahagia, sayang) dan juga yang negatif (sebal, sedih, marah) secara benar dan proporsional.

Perkembangan konsep diri

Konsep diri ini berkenan dengan perasaan dan pemikiran kita mengenai diri kita sendiri, karena atas penilaian sendiri maupun penilaian dari lingkungan sosial kita. Misalnya kalau kita enggak puas terhadap kondisi fisik, maka konsep diri menjadi buruk. Hal ini membuat kita merasa rendah diri. Begitu pula sebaliknya, konsep diri positif bila kita menilai fisik kita menarik dan sesuai dengan yang diinginkan. Kalau kita dinilai oleh orang lain, misalnya sebagai remaja yang bisa gaul, pandai dan hal-hal yang positif lainnya, maka semangat positif itu dapat meningkatkan konsep diri dan ke-PD-an kita.

Salah satu ciri dari perkembangan konsep diri kita sebagai remaja ialah cenderung negatif antara lain karena berkembangnya fisik yang cukup drastis, kadang juga kurang proporsional (badan memanjang tapi kurus, bulat gemuk, dan sebagainya), merasa selalu diperhatikan orang lain atau menjadi pusat perhatian orang lain, memiliki aspirasi yang tinggi tentang segala hal.

Perkembangan kognitif

Dalam perkembangan ini perilaku yang muncul, misalnya kritis (segala sesuatu harus rasional dan jelas), rasa ingin tahu yang kuat (perkembangan intelektual kita merangsang untuk harus mengetahui segala sesuatu, dalam tahap ini muncul keinginan untuk bereksplorasi) dan egosentris (segala sesuatu masih dilihat dari sudut pandangannya).

Jadi, enggak usah terkaget-kaget dengan komentar orang dewasa terhadap diri kita, ya. Malah kalau perlu, beri mereka penjelasan bahwa beginilah perkembangan remaja. Bisa jadi, kita bakal terlihat lebih dewasa dibanding para orang dewasa

YAHYA MA’SHUM DAN CHATARINA WAHYURINI (sumber: Modul PKBI)


Baca Selanjutnya.....

MEMBANGUN KEPERCAYAAN

Mengapa perlu dibangun?

Tentu ada tak terhitung alasan mengapa kepercayaan itu penting bagi kita. Dalam kaitannya dengan dunia kerja atau usaha, saya hanya ingin menegaskan dua hal dari sekian itu, dengan kalimat seperti berikut:

Pertama, Kepercayaan adalah kekuatan “daya tarik” yang luar biasa untuk mengundang peluang ber-transaksi. Kalau melihat penjelasan para pakar marketing, transaksi adalah sasaran riil jangka pendek yang dicapai oleh kesepakatan antarpihak. Transaksi ini pada hakekatnya bukan saja akan dilakukan oleh para pedagang atau pebisnis, tetapi akan dilakukan oleh semua orang yang menjalankan aktivitas usaha, apapun usaha itu, termasuk juga bekerja.

Kita ingat pesan mendasar dalam dunia bisnis (baca: usaha) yang mengatakan, semua orang akan menjalani hidupnya dengan cara menjual sesuatu (selling), terlepas apakah itu barang atau jasa yang kita jual. Nah, supaya aktivitas jualan kita sampai pada tingkat transaksi, maka peranan kepercayaan sangat dominan di sini. Tidak semua produk yang belum laku itu tidak baik, tetapi adakalanya orang belum percaya akan benefit dari produk itu. Saking pentingnya kepercayaan itu dalam bisnis, sampai-sampai ada yang mengatakan begini: “jika orang itu suka kamu, ia akan mendengarkanmu, tetapi jika orang itu mempercayaimu, ia akan melakukan bisnis denganmu.”

Begitu juga, tidak semua karyawan yang belum mendapat kesempatan promosi jabatan itu tidak ahli, tetapi adakalanya orang belum percaya akan keahliannya. Bahkan ada kalimat yang pernah saya baca dari buku karya Helga Drummond berjudul: “Power: Creating It Using IT”, (Kogan Page: 1991) yang intinya ingin memahamkan kita bahwa untuk kepentingan power, maka yang terpenting bukan saja di bidang apa kita ahli, tetapi siapa saja yang mempercayai keahlian kita. Semua orang bisa ngomong politik atau ngomong tentang jeleknya pejabat, tetapi hanya orang tertentu saja yang sah untuk berbicara tentang hal ini. Semua orang di kantor bisa diajak melihat kekurangan organisasi, tetapi prakteknya hanya orang tertentu saja yang diberi hak untuk berpendapat tentang hal ini. Kira-kira begitulah contohnya.

Kasarnya, biarpun kita sudah ahli di bidang tertentu, tetapi kalau belum ada orang yang mempercayai keahlian kita, keahlian itu manfaatnya masih belum banyak buat kita. Mungkin atas dasar inilah George MacDonald pernah mengatakan: “Dipercaya itu nilainya lebih besar ketimbang dicintai.”

Berkali-kali telinga kita mendengar pengalaman para pengusaha yang bercerita tentang riwayat hidupnya. Mereka berani menyimpulkan, modal keberhasilannya adalah kepercayaan. Mereka mendapatkan uang dari orang lain yang percaya kepadanya. Lalu mereka mendapatkan produk juga dari orang lain yang percaya kepadanya. Dari modal dan produk itulah mereka mengolahnya dengan proses-proses yang terpercaya lalu lahirlah transaksi yang menguntungkan. Bank di dunia ini juga menerapakan cara kerja demikian. Mereka mendapatkan uang dari masyarakat yang percaya kepadanya. Lalu mereka kembangkan dengan sistem dan proses yang bisa dipercaya kemudian dari sinilah mereka mendapatkan untung.

Kedua, Kepercayaan akan mampu mengurangi sekian persen potensi problem dalam hubungan antarmanusia. Hubungan yang saya maksudkan di sini bisa hubungan apa saja, mungkin bisnis, mungkin profesi, rumah tangga, persahabatan dan lain-lain. Seperti yang kita alami, hubungan kita dengan orang lain itu tak hanya menjadi sumber solusi. Terkadang juga menjadi sumber problem. Problem inipun ada yang berupa kesulitan, dilema, dan misteri. Pokoknya, warna-warni problem itu bisa dikatakan tak terhitung.

Jika dicek ulang apa saja yang menjadi pemicu munculnya problem dalam hubungan, saya yakin kepercayaan termasuk salah satu faktor yang terbesar. Jika kepercayaan itu ada dalam sebuah hubungan memang tidak berarti problem akan hilang, tetapi jika kepercayaan itu sudah hilang, dipastikan akan banyak muncul problem. Problem yang diakibatkan oleh hilangnya kepercayaan ini biasanya melahirkan ketidak-efektif-an atau ketidak-efisien-an. Bisa dikatakan, kepercayaan adalah asas sebuah hubungan yang efektif dan efisien.

Kalau melihat bagaimana sulitnya memimpin bangsa Indonesia dan sulitnya bangsa Indonesia menemukan pemimpinnya dalam mengatasi masalah bangsa ini, mungkin benar juga kata para ahli di televisi. Hilangnya “trust” telah membuat roda kepemimpinan pemerintah menjadi tidak efektif dan tidak efisien, atau kerap terganjal oleh hal-hal yang tidak penting. Bukankah sering kita lihat demo atau penolakan sebagian rakyat terhadap program pemerintah padahal secara konsepnya program itu didesain untuk rakyat? Pada kasus ini tentu bukan programnya yang ditolak tetapi rakyat selalu curiga dan tidak percaya akan munculnya “jangan-jangan” yang dikhawatirkan, misalnya korupsi atau penunggangan kepentingan individu atas undang-undang yang sah.

Itulah sekilas gambaran bagaimana cara kerja kepercayaan dalam praktek hidup sehari-hari. Jika di atas ada pertanyaan mengapa kepercayaan itu perlu dibangun, maka jawabnya adalah: kepercayaan itu bukan pembawaan (traits) tetapi hasil dari pemberdayaan atau usaha (state), kepercayaan itu bukan pemberian tetapi balasan, kepercayaan itu bukan kumpulan pernyataan (talking only), tetapi kumpulan dari pembuktian (witness).

Dalam teori hidup yang dianut Jet Li, kepercayaan itu dibangun berdasarkan struktur langkah yang berawal dari: pertama, ketuklah pintu, kedua, buatlah orang lain tahu bahwa kau datang, ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika kau sudah berhasil membuktikan siapa dirimu, maka kau akan mudah mengubah orang dan mengubah keadaan.

Perusak Kepercayaan

Ketika berbicara kepercayaan, mungkin ada dua hal yang patut diingat.

1. Kepercayaan itu datangnya dari orang lain tetapi alasannya dari kita. Artinya, ada dua pihak yang terlibat di sini. Karena itu sangat mungkin terjadi kasus penyimpangan. Misalnya saja, kita mempercayai orang yang tidak / belum layak dipercaya. Atau juga, kita belum / tidak dipercaya orang lain padahal kita sudah menyiapkan alasan untuk dipercaya.

Meskipun teknisnya sangat mungkin muncul kasus seperti di atas, tetapi prinsipnya tidak berubah. Artinya, pada akhirnya orang akan tidak percaya sama kita kalau kita tidak memiliki alasan atau kualifikasi yang layak untuk dipercaya. Sebaliknya, kita akan tetap mendapatkan kepercayaan kalau ternyata kita memiliki bukti-bukti yang layak untuk dipercaya (meski awalnya tidak dipercaya). Prinsip ini tidak bisa berubah. Tehnis sifatnya sementara tetapi prinsip bersifat abadi.

2. Kebanyakan orang sudah mengetahui apa saja yang perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan dan mengetahui apa saja yang perlu dihindari karena akan merusak kepercayaan orang. Tetapi sayangnya hanya sedikit orang yang mau dan mampu melakukannya. Padahal, pada akhirnya kepercayaan itu butuh pembuktian, bukan pernyataan.

Sebagai penegas ulang dari apa yang sudah kita tahu, di sini saya mencatat ada tiga hal yang kerap menjadi perusak kepercayaan.

a. Malas, setengah-setengah, ogah-ogahan (low commitment)

Biasanya, sebelum kita berani melanggar berbagai komitmen dengan orang lain, awalnya kita melakukan pelanggaran itu pada komitmen pribadi. Misalnya, kita punya rencana tetapi tidak kita jalankan. Kita punya target tetapi kita biarkan. Kita punya keinginan memperbaiki diri tetapi yang kita praktekkan malah merusak. Ini semua bukti adanya “gap between the world of word and the world of action” di dalam diri kita, yang merupakan buah dari komitmen yang rendah.

Menurut pengalaman Mahatma Gandhi, efek dari disiplin yang merupakan buah dari komitmen tinggi itu, tak hanya pada satu titik dalam kehidupan kita. Tetapi ia menyebar ke seluruh wilayah. Sebaliknya, efek dari ketidakdisiplinan juga menyebar ke seluruh wilayah, dari mulai hubungan kita ke dalam (intrapersonal) sampai ke hubungan kita ke luar (interpersonal).

b. Keahlian atau kapasitas yang tidak memadai

Banyak yang sepakat mengatakan, kejujuran merupakan pondasi kepercayaan. Ini pasti benar dan sama-sama sudah kita akui sebagai kebenaran. Cuma, ada satu hal yang sering kita lupakan bahwa yang membuat kita menjadi orang yang tidak jujur, bukan saja persoalan komitmen moral, tetapi juga keahlian atau kapasitas personal. Kalau Anda hanya punya pendapatan tetap sebanyak dua juta tetapi Anda harus menanggung kredit perbulan sebanyak lima juta, maka Anda mendapatkan stimuli dan force yang cukup kuat untuk berbohong. Sebagian kita “terpaksa” berbohong bukan karena rusak imannya tetapi karena kapasitasnya belum sampai. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan mengukur kadar diri (self-understanding), pengetahuan-diri (self knowledge) atau kemampuan membuat keputusan yang bagus (the right decision).

c. Kebiasaan Melanggar Kebenaran

Punya kebiasaan melanggar kebenaran yang disepakati agama-agama, norma-norma dan lain-lain serta punya kebiasaan mendewakan “kebenaran-sendiri” yang melawan kebenaran itu, juga bisa merusak kepercayaan. Dalam hal usaha atau kerja sering kita dapati ada orang lebih percaya sama orang lain ketimbang sama keturunannya sendiri karena pelanggaran yang dilakukan. Soal sayang, pasti orang lebih sayang sama keturunannya, tetapi soal percaya, lain lagi. Bahkan tak sedikit penjahat atau koruptor mencari orang lain yang bukan penjahat atau yang bukan koruptor ketika urusannya adalah soal kerja atau menjalankan usaha.

Proses Pembelajaran

Sebagai acuan untuk memperbaiki diri (proses pembelajaran), saya ingin mengusulkan suatu istilah yang mudah-mudahan dapat kita jadikan sebagai acuan dalam membangun kepercayaan. Istilah yang saya maksudkan itu adalah:

1. Kesalehan

2. Keahlian

3. Komunikasi

Kata saleh yang sudah dipakai umum di sini diambil dari bahasa Arab. Salah satu artinya adalah “yang cocok”, singkron, integrited, atau hormani. Kesalehan adalah kemampuan kita dalam menyesuaikan tindakan dengan nilai-nilai kebenaran yang kita yakini, menyesuaikan tindakan dengan ucapan, menyesuaikan bukti (aksi) dengan janji, atau menyesuaikan tindakan dengan kata hati, dan seterusnya.

Kenapa saya katakan kemampuan karena, tidak ada manusa yang lahir langsung soleh, menjadi orang jujur, menjadi orang yang berkomitmen tinggi, menjadi orang yang taat (discipline), dan seterusnya. Karena itu, harus ada kesadaran dari dalam untuk meningkatkan kesalehan kita dari yang paling sanggup kita lakukan. Soal bagaimana tehnisnya, itu terserah kita. Tetapi prinsipnya harus ada kesadan dan tindakan perbaikan secara bertahap.

Seperti yang saya katakan di atas, tak cukup membangun kepercayaan dengan bermodalkan komitmen moral, seperti kesalehan ini. Perlu dukungan lain, yaitu keahlian atau kapasitas, jika urusannya menyangkut kerja atau usaha. Keahlian di sini adalah kemampuan menyempurnakan pekerjaan berdasarkan standarnya. Untuk bisa memiliki kemampuan ini diperlukan tambahan pengetahuan dan pengalaman.

Pada ruang lingkup kerja dan usaha yang lebih luas, kesalehan akan bekerja untuk menyelamatkan kita dari jatuh. Sedangkan keahlian akan bekerja untuk menaikkan prestasi kita. Jika kita naik terus tetapi akhirnya jatuh, tentu ini sakit. Sebaliknya, jika kita hanya aman saja, tetapi prestasi kita tidak naik-naik, ini bisa membuat dada kita sesak. Supaya aman dan naik, kuncinya adalah kesalehan dan keahlian. Bicara kepercayaan, tentu peranan dua hal ini sangat vital. Jika kita hanya ahli tetapi tidak soleh atau soleh saja tetapi tidak ahli, kepercayaan tentunya masih kurang.

Sedangkan kemampuan berkomunikasi itu kita butuhkan antara lain untuk: a) menjelaskan penyimpangan seperti dalam kasus di atas akibat kesalahpahaman, b) menjelasakan kepada orang lain tentang diri kita atau c) menyelesaikan perosalan kesepakatan yang gagal dilaksanakan karena ada masalah yang muncul.

Ketiga acuan ini apabila berhasil kita jalankan berdasarkan keadaan-diri kita masing-masing, trust akan muncul. Soal tehnisnya mungkin bermacam-macam. Ada yang mungkin tidak dipercaya lebih dulu baru kemudian dipercaya atau ada yang langsung percaya. Percayalah!

http://www.e-psikologi.com

Baca Selanjutnya.....