Senin, November 24, 2008

Cita dalam cinta

Cita-cita, pasti semua orang mempunyainya. Demikian juga cinta. Artikel ini saya persembahkan khususnya bagi Anda yang belum berumah tangga dan masih dalam pencarian cinta dan jati diri. Kita mulai dari yang pertama. Setiap orang yang berpikiran ke depan pasti memiliki cita-cita. Entah itu tinggi, sedang atau sederhana, semua orang berhak untuk bercita-cita dan untuk memperjuangkannya sampai cita-cita itu bisa diraih. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Ini maksudnya agar hidup kita mempunyai tujuan dan ada sesuatu yang akan kita perjuangkan untuk kita raih. Dibandingkan orang yang tidak memiliki cita-cita—yang biasanya hidup asal hidup, tanpa memiliki tujuan yang pasti—orang yang bercita-cita akan lebih optimis dalam kesehariannya, punya tujuan hidup dan melangkah pasti menjadi manusia pembelajar.


Karena punya cita-cita, kita memiliki harapan. Dengan bercita-cita, ada yang kita tuju. Dan jika cita-cita itu telah menjadi kenyataan maka perasaan bahagia akan menyelimuti jiwa kita. Misalnya seorang gadis dewasa yang sekian lama mendambakan seorang pria tampan dan bertanggung jawab untuk menjadi suaminya. Ketika impian itu jadi kenyataan, di hari pernikahannya mungkin dia akan menangis… bukan tangis kesedihan tapi itu yang dinamakan “tangis bahagia”. Cita-cita yang sederhana bisa jadi penuh makna jika kita benar-benar memimpikannya. Ada juga yang bercita-cita menjadi sarjana, bahkan kalau bisa lulus dengan nilai cum laude. Walaupun dia tahu, di sekolah kita hanya diajarkan tentang apa yang kita pikirkan (pelajaran-pelajaran yang kadang tidak berguna di dunia nyata), bukan bagaimana kita berpikir untuk meraih kehidupan yang lebih bermakna. Namun, jika kita berasal dari keluarga yang sangat sederhana, pernah dihina karena berpendidikan rendah, mungkin itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi diri kita dan orang tua. Dan ketika hari wisuda itu tiba, air mata bahagia tidak bisa terbendung. Demikian juga dengan impian yang lainnya. Ketika kita telah menjadi diri yang dulu selalu kita bayangkan—entah itu menjadi motivator, trainer, penulis best seller, dokter, tentara, guru, pengusaha, artis, pilot, astronot, dan lain-lain—saat semua itu terwujud maka ada kepuasan mendalam yang bisa kita rasakan. Kita telah menjadi apa yang kita ingin menjadi.

Di samping cita-cita, kita juga ternyata membutuhkan cinta, baik cinta (kasih sayang) dari orang tua, saudara, sahabat, lingkungan sekitar dan lebih khusus lagi dari seseorang yang kita harapkan akan jadi pendamping hidup kita. Kita selalu membutuhkan cinta sebagaimana kata pujangga, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga…” Ini hanya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah kita membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari orang lain. Kita membutuhkan cinta kasih sesama manusia! Kita tidak dapat hidup sendiri. Jika kita sendirian maka kita akan kesepian. Dalam kesepian, kita akan merana dan hati akan meronta mencari kedamaian. Mencari cinta dari sudut pandang yang sempit bisa diberi makna mencari pendamping hidup yang nantinya menjadi pelabuhan cinta kita dalam sebuah mahligai rumah tangga melalui sebuah pintu pernikahan yang sakral. Lain halnya jika kita mencari cinta yang lebih agung dan hakiki (Anda bisa menbaca artikel “Badai Pasti Berlalu 2: Mencari Cinta Sejati”). Sesuai dengan judul artikel ini, Apakah cita-cita dan cinta bisa jalan bergandengan? Ini adalah sebuah pertanyaan bagaimana antara cita-cita dan cinta dalam hidup bisa kita raih, apakah bersamaan, cita-cita dulu baru cinta atau sebaliknya, atau yang satu harus mengorbankan yang lain…

Seorang sahabat berpendapat “bisa”, cita-cita dan cinta bisa berjalan bersama, dengan alasan seseorang bisa lebih bersemangat dalam mengejar cita-citanya demi membahagiakan orang yang dicintai. Orang yang dicintai bisa bermakna orang tua, keluarga, atau orang yang nantinya menjadi jodoh kita. Siapa pun orang yang kita kasihi, pasti kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk mereka, karena mereka adalah orang yang berjasa dalam hidup kita. Pendapat di atas memang benar. Jika kita memiliki orang yang kita kasihi, kita berjuang dengan energi maksimal untuk meraih kesuksesan di bidang apa pun yang kita tekuni. Jika telah berhasil, semua buah dari jerih payah kita akan kita persembahkan untuk mereka yang kita kasihi. Kita memiliki energi pendorong yang berasal dari sebuah emosi yang disebut cinta. Energi ini sangat dahsyat bagi mereka yang tahu cara menggunakannya.

Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama 20 tahun yang menunjukkan bahwa perasaan cinta merupakan salah satu emosi yang berada pada level energi positif yang bisa memberikan percepatan terhadap terwujudnya keinginan kita. Dalam tabel Map of Consciousness, cinta berada di bawah level energi pencerahan, kedamaian dan suka cita. Sedangkan di bawah level energi cinta ada berpikir, penerimaan, kemauan, dan netralitas. Semua jenis emosi tersebut berada di atas baseline sehingga bernilai positif (memancarkan energi positif) dan mempermudah pencapaian segala sesuatu dalam hidup kita. Jenis emosi yang berada di bawah baseline dan merugikan karena mengikis energi kita adalah perasaan bangga, marah, keinginan (desire), takut, kesedihan mendalam, apatis, rasa bersalah dan rasa malu (shame). Semua perasaan/emosi di atas baseline bermanfaat dan yang berada di bawah baseline merugikan kita. Perasaan cinta memberikan pancaran energi positif yang membantu mempermudah terwujudnya apa yang kita inginkan. Cinta memberikan semangat. Lebih dari itu, cinta membuat jiwa kita lebih hidup. Cinta di sini adalah sebuah emosi yang memberikan pancaran energi, bukan dalam konteks perasaan manusia berlawanan jenis yang sedang dimabuk asmara yang kadang dicampuradukkan dengan nafsu. Pendek kata, jika kita bekerja pada level energi cinta maka segala sesuatu akan lebih mudah kita raih.

Sahabat yang lain juga berpendapat, cita-cita dan cinta jelas bisa seiring selama orang yang kita cintai mendukung apa yang kita cita-citakan, atau kita telah mendapatkan cinta yang kita cita-citakan. Menurut saya, ini sangat masuk akal, karena jika orang yang kita cintai mendukung usaha kita maka kita akan mendapatkan sumber motivasi yang dahsyat. Jadi, kita tidak perlu susah payah menghadiri seminar-seminar motivasi atau membaca buku-buku motivasi karya motivator papan atas negeri ini. Cukup dimotivasi oleh seseorang yang kita cintai, jika itu memadai. “Mendapatkan cinta yang kita cita-citakan”, mungkin ini adalah yang diharapkan dari sebuah pencarian cinta (bisa dibahas dalam artikel tersendiri).

Contoh di atas adalah jika kita memiliki orang yang kita cintai. Bagaimana jika kita tidak punya keluarga dan orang yang kita kasihi? Kita tidak memiliki orang lain yang bisa untuk tempat berlabuhnya emosi cinta, bagaimana kita dalam mengejar cita-cita? Kita akan berusaha biasa-biasa saja, loyo atau justru bersemangat? Kitalah yang menentukan akan mendapat energi pendorong apa selain dari energi cinta. Sekarang, jika cinta itu kita maknai sebagai seseorang yang kita kasihi. Kita mencintainya karena berharap si dia akan jadi pendamping hidup kita. Dalam perjalanan meraih cita-cita ini mungkin akan bercampur dengan kisah Arjuna Mencari Cinta. Jadi, seperti kisah sinetron saja… Sambil meraih cita-cita kita menjalin cinta atau sebaliknya. Selama yang satu memotivasi yang lain, mungkin ini akan bermanfaat. Namun jika yang satu harus mengorbankan yang lain, mungkin akan ada satu sisi jiwa kita yang merasa kehilangan.

Misalnya ada seseorang yang demi meraih cita-citanya terpaksa harus meninggalkan orang yang ia kasihi ke negeri yang jauh. Ia terpaksa meninggalkan cintanya, dan jika setelah kembali ternyata cinta yang dinanti telah menghilang disambar orang, mungkin ini akan menyakitkan, namun ia harus merelakannya. Cinta yang goyah oleh jarak dan waktu bukanlah cinta yang murni walau mungkin mulut berikrar sehidup semati. Cinta seperti ini jika diukur seperti emas bukanlah emas 24 karat, namun emas sekarat, hehe…

Ada lagi, sepasang muda-mudi menjalin cinta sambil meniti cita-cita (baca: sekolah atau kuliah). Eh, tiba-tiba si gadis berbadan dua gara-gara cintanya. Ini namanya MBA (Marriage by Accident). Cintanya bukanlah cinta yang suci, tapi cinta yang terpolusi oleh nafsu yang tak terkendali atau nafsu yang berkedok cinta semu. Gara-gara peristiwa MBA ini, si gadis terpaksa harus keluar (atau dikeluarkan) dari sekolahnya. Padahal masa depannya akan cerah jika ia terus menempuh pendidikan sampai akhir. Cita-citanya kandas karena kesalahannya dalam memaknai cinta… Kasus di atas bukanlah cerita belaka, namun benar-benar ada dan banyak terjadi di kehidupan generasi muda kita. Ini merupakan salah satu fitnah jaman yang menyesatkan karena zina adalah dosa besar dalam agama manapun. Beruntung jika kita terhindar dari bencana tersebut.

Contoh lain misalnya, seorang pemuda/pemudi yang akan menghadapi ujian, entah itu masuk perguruan tinggi atau untuk mendapatkan pekerjaan/meniti karier. Ujian ini akan sangat menentukan masa depan. Tak disangka di saat mau ujian ia bertengkar dengan cintanya (baca: kekasih) karena suatu masalah. Pertengkaran itu membuat pikirannya kacau balau karena hampir memhancurkan hubungan mereka. Fokus pikirannya menjadi terpecah tak karuan dan fatalnya, ia tidak dapat lulus karena saat ujian keadaan jiwanya sedang tidak menentu. Cita-citanya kandas hanya karena masalah yang sebernarnya sepele. Siapa yang salah? Sebenarnya semua itu tidak harus terjadi seandainya si pelaku memiliki kedewasaan berpikir dan pengendalian emosi. Akibat yang fatal seperti tersebut di atas tidak lebih karena kita menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mempraktekkan sesuatu belum saatnya. Cinta yang berujung pilu (merugikan, memalukan, menyengsarakan) mungkin yang disebut cinta monyet. Bisakah pelakunya disebut monyet? Buktinya mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk… sama dong dengan nyemot, eh… monyet! Biasanya cinta seperti ini dimiliki orang yang belum dewasa (tidak cuma usianya, namun juga pemikirannya). Terus, bagi orang yang sudah dewasa cintanya disebut cinta gorila dong…, habis gorila kan lebih besar dari monyet? Terserah Anda, mau nggak disebut gorila?!

Dari ulasan di atas, tidak berlebihan kiranya jika kita menarik kesimpulan bahwa boleh-boleh saja dalam berproses meraih cita-cita, kita nyambi menjalin cinta dengan catatan:

1. Sudah bisa memahami arti cinta yang sesungguhnya

2. Memiliki pengendalian emosi yang mempuni

3. Tahu batas dan etika sesuai ajaran agama (prinsip kemanfaatan)

Saya tidak mengatakan “menjalin cinta” di sini sebagai “pacaran” mengingat pacaran lebih menjurus ke perbuatan maksiat yang dilarang agama walau pun sangat banyak penggemarnya (baca artikel berjudul “Antara Cinta dan Nafsu”). Menjalin cinta bisa berupa persahabatan yang tulus, membangun komitmen untuk menikah, mencinta dengan hati, atau berkolaborasi untuk membuahkan karya bermanfaat dengan si dia.

Ada baiknya untuk menambah suasana penuh cinta, kita simak syair lagu berikut ini:

KARENA CINTA

T’lah kutemui banyak cinta

Di hati ini datang dan pergi

Selimuti kisahku yang biru

Mendalam di hati

Biar kurentangkan cintaku

Menariku di atas senduku

Sendirinya aku tak berkasih

Mendalami hati

Karena cinta aku jadi sepi

Karena cinta aku jadi riang

Karena cinta aku jadi pilu

Karena cinta kini ku sendiri

Karena cinta pelangiku hilang

Karena cinta matahari pergi

Namun kuyakin dalam hatiku

Cintaku tak boleh membunuhku…

Ternyata dalam meraih cita-cita, energi cinta ini banyak sekali manfaatnya, baik untuk memotivasi maupun untuk penyeimbang jiwa kita yang pada dasarnya membutuhkan cinta. Cinta di sini tidak hanya dari sesama manusia, namun kita juga harus mencintai perjuangan meraih cita-cita itu sendiri, mencintai karya kita atau berkarya dengan cinta. Dan yang lebih agung lagi, apapun yang kita lakukan dalam meraih cita-cita semuanya kita persembahkan demi meraih cinta yang hakiki, yakni cintanya Sang Pemilik Cinta. Dialah yang menciptakan kita dengan cintaNya, dengan sifat Rahman dan RahimNya. Milikilah sebuah “cinta” niscaya cita-cita akan lebih mudah tercapai! Saya sengaja menulis kata “cinta” dalam tanda petik, memberi kebebasan kepada Anda secara pribadi untuk memaknainya).

Sebagai penutup, saya akan mengutipkan sebuah Hadits Nabi yang artinya kurang lebih sebagai berikut, “Cintailah yang di permukaan bumi, niscaya yang di atas langit akan mencintaimu.


Tidak ada komentar: