Rabu, Juli 08, 2009

Jatuh Cinta vs Patah Hati

Jatuh cinta itu, pasangannya sama patah hati. Entah bener atau nggak, tapi ada pernyataan klasik yang dah sering aku denger dari zaman SMP, "Saat kamu jatuh cinta, saat itu pula kamu harus siap untuk patah hati". See? Yah, meski buatku ada benarnya ada tidaknya. tergantung objek yang kita -jatuhcinta-in itu...

Jatuh cintaku, waktu SMA tentunya. Dengan cinta itu pula aku belajar merajut mimpi, merancang harapan, mewujudkan keinginan. Meski tak lepas juga dari andai-andai dan angan. But that's normal, right? Manusiawi! Saat itu, aku juga sedang belajar untuk bisa mencintai Ia. Lalu bagaimana dengan cintaku yang lain? cintaku pada-nya, yang bukan pada-Nya? Oooh...berarti aku harus mencintainya karena diri-Nya. Tapi, adakah yang tahu batasan untuk bisa mencintai dirinya karena diri-Nya? Meski berkali-kali lidahku berucap, Rabbana...aku mencintainya karena-Mu... Cintaku pada-Nya, sangatlah luas...begitupun dengan cintaku pada dirinya... pada dia... Namun bisakah cinta yang ada pada satu keping hati terbagi dua? atau cinta manakah yang porsinya lebih besar aku berikan? Bias...saat itu semua bias di mataku...
Hingga suatu hari aku sadar, cintaku padanya bertepuk sebelah tangan. Aku patah hati! Bahkan hingga menggugat Tuhan, Mengapa? Bukahkah aku sudah mencintainya karena-Mu?!Dan patah hati itu, telah menghancurkan semua mimpi, harapan, dan anganku. Telah membuatku sangat terpuruk dan gelap mata. Mengakhiri hidup? seringkali terlintas dalam benakku.
Aku meninggalkan semua yang ada di sekelilingku. Menjadi sosok intovert, lari dari semua aktivitas dan duniaku yang ada saat itu. Dunia menulisku, dunia organisasiku, dunia dakwahku... Semua kutinggalkan! Untuk apa? apakah dengan tetap berada di sana aka membuat cintaku kembali? Mencari cinta yang lain? Huff...aku tak berminat.

Satu setengah tahun. Waktu yang harus kuhabiskan untuk mengobati luka akibat patah hati itu. Dengan terseok, penuh darah dan air mata (terlalu hiperbolis, ding. cuma air mata doang kok :p). Jadi inget tawaran seseorang waktu chatting di YM saat itu, "Kamu mau aku antar ke psikiater? Di Bandung ada psikiater bagus, namanya -tuuutt-" Ha...Ha...ha... Yeah, akhirnya aku ke psikiater juga. Hanya saja bukan atas saran dia, tapi si tante psikiater itu kawan ibuku.
Patah hati itu, ternyata harus kubayar mahal. Sangat mahal! Karena aku membayarnya dengan kehilangan sahabat-sahabatku... Sebenarnya, tidak pyur kehilangan mereka, hanya saja, ternyata mereka sudah sangat jauh berlari di depanku. Sahabat-sahabat penulis sudah banyak yang mengeluarkan buku, cerpen, essay, bahkan jadi penulis skenario. Sahabat-sahabat organisator sudah menjadi "orang-orang terkenal" dalam dunia politik kampus di tempatnya masing-masing (bukannya narsis, tapi gw cuma mau bilang kalau SMANSA punya orang-orang yang sangat berpotensi di bidang itu). Sahabat-sahabat dakwah... Wuiihh...Top Abis!! Salut buat kalian, saudaraku semua... (sok banget gw masih yakin kalo mereka masih anggap gw sodara). Kalian sangat dibutuhkan di tengah bejatnya rimba dunia ini... Meski tak lagi aku berada di sana, bersama kalian menegakkan Islam. Namun selalu aku menatap dari sini, tersenyum...
Lalu, dimanakah aku saat mereka semua berlari? Aku... masih terpuruk di sini. Berharap ada diantara mereka yang berbalik untuk membantuku berdiri. Karena aku tak lagi jatuh dan terluka lecet di kaki. Namun sepertinya kakiku telah patah.Patah hati... Humm... untuk melihat seberapa besar cintamu pada sesuatu, lihatlah seberapa besar pengaruh yang terjadi saat akhirnya dirimu patah hati. Satu setengah tahun adalah waktu yang sangat lama (relatif juga sih, kata Om Einstein) dalam dunia persaingan. Ya, selain kehilangan mimpi, sahabat, ternyata aku juga kehilangan waktu. Bahkan kehilangan sebagian dari diriku...
Efek jelek? Humm...mungkin sampai sekarang masih ada sisa-sisa patah hati. Hingga membuatku takut untuk bermimpi. Tapi, bukankah orang yang paling patut dikasihani adalah orang yang tidak memiliki mimpi? Maka, mulailah aku belajar merajut mimpi... Mulai mencintai lagi... Aku bisa! Pasti! Hikmah? pasti ada. Aku tahu bagaimana rasanya jadi pecundang. HIngga aku juga harus tahu bagaimana rasanya jadi pemenang. Aku tahu bahwa musuh terbesar dalam hidupku adalah diriku sendiri. Aku tahu bahwa aku tidak boleh lagi berharap akan pertolongan orang lain. Bahasa egois yang sering muncul di benakku, "Gue, nggak butuh elu untuk bisa ngedapetin apa yang gue mau!"

Humm.. Yah, patah hati... sakit juga ternyata... "aku hanya miliki cinta...
dengan cintaku, semoga kalian bahagia..."


Tidak ada komentar: