Oleh: Surya Handayana
Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, angka pertumbuhan pengidap HIV/AIDS enggak kunjung turun. Yang lebih mencengangkan, ternyata remaja selalu menempati ranking pertama sebagai kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan dengan kelompok usia lain. Bagi kita yang tergolong rentan tertular HIV/AIDS seperti berita di atas, tentu akan bertanya-tanya, Kenapa harus kita yang remaja? Jawaban pertanyaan tersebut sederhana saja, tapi enggak sederhana upaya penanganannya.
Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, angka pertumbuhan pengidap HIV/AIDS enggak kunjung turun. Yang lebih mencengangkan, ternyata remaja selalu menempati ranking pertama sebagai kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan dengan kelompok usia lain. Bagi kita yang tergolong rentan tertular HIV/AIDS seperti berita di atas, tentu akan bertanya-tanya, Kenapa harus kita yang remaja? Jawaban pertanyaan tersebut sederhana saja, tapi enggak sederhana upaya penanganannya.
Selama ini, banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa banyak tingkah laku atau perbuatan kita yang sangat berisiko tertular HIV/AIDS. Misalnya saja seks di luar nikah. Masih banyak di antara kita yang berpandangan bahwa seksualitas hanya masalah perawan atau enggak perawan. Padahal, hubungan seks di luar nikah cukup besar risikonya untuk menjadi hubungan seks yang enggak aman meskipun dilakukan dengan pacar sendiri. Hubungan seks yang enggak aman bisa menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). KTD sendiri kelak bisa menimbulkan masalah lain, baik fisik, sosial, maupun mental. Risiko lain dari hubungan seks seperti ini adalah terkena infeksi menular seksual (IMS) yang dapat menyebabkan kemandulan dan makin membuat kita rentan terhadap HIV/AIDS.
Ketidaktahuan kita terhadap perilaku kita sendiri yang berisiko tertular HIV/AIDS inilah yang justru memicu kemungkinan untuk tertular dan bahkan menyebarkan HIV/AIDS di kalangan teman-teman kita. Meskipun begitu, kita memang bukan satu-satunya pihak yang dianggap paling bersalah.
Akses Informasi
Wajar aja sih, kalau kita belum tahu banyak soal kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Maklum, akses informasi tentang kedua hal ini, termasuk masalah pelayanan konsultasi dan medis tentang hal tersebut, masih sangat terbatas. Kalaupun ada, terkesan kurang akrab buat kita. Akibatnya, kita mencoba mencari informasi di media lain yang kurang mendidik, seperti media seks pornografi. Di kalangan kita, setidaknya ada tiga kelompok penting yang paling dekat dengan kehidupan kita, yaitu guru, ortu, dan teman-teman. Sayangnya komunikasi dengan ketiga pihak tersebut belum sepenuhnya optimal. Apalagi yang berkenaan dengan masalah seksualitas. Ada beberapa hal yang menyebabkannya.
1. Masih banyak ortu yang membatasi pembicaraan seksualitas dengan berbagai alasan. Seksualitas dianggap sebagai masalah tabu untuk dibicarakan. Akhirnya kita gagal mendapatkan informasi dari ortu yang seharusnya menjadi sumber informasi paling dekat dengan kita.
2. Masih ada guru yang cara berkomunikasinya cenderung kaku dan enggak terbuka. Padahal, guru memiliki segudang informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Beda dengan guru yang youth friendly. Pasti mereka bisa menjadi tempat curhat.
3. Sebagian besar dari kita menganggap hubungan dengan teman adalah yang paling ideal sehingga lebih enak diajak berbicara masalah apa pun. Sayangnya, informasi dari teman sering enggak proporsional dan keliru.
Budaya permisif
Meski kita bukan satu-satunya penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di lingkungan kita, tetapi budaya serba boleh (permisif) di kalangan kita mendorong perilaku seks enggak aman dan narkoba semakin meningkat. Dampaknya terlihat dari tingginya kasus HIV/AIDS tersebut, di mana penularan HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual yang enggak aman dan pemakaian narkoba dengan jarum suntik. Dalam diskusi dengan beberapa teman kadang muncul pernyataan terang-terangan, ...Ah, pacaran kalo cuma gandengan doang mah garing, enggak ciuman enggak asyik, lagi. Temen-temen juga sudah banyak kok yang sudah gituan (berhubungan seks Red). Gue nganggepnya fine-fine aja tuh.
Dari sisi kesehatan saja pernyataan tersebut sudah enggak benar, apalagi dari sisi norma agama dan norma sosial. Kalau cara pandang kita terhadap perilaku seksual semakin permisif, mustahil rasanya angka pengidap HIV/AIDS di kalangan kita akan menurun.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyikapi hal ini.
1. Buat media informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di sekolah, seperti mading, buletin, atau kelompok diskusi kecil yang membahas masalah kesehatan reproduksi maupun HIV/AIDS dan narkoba.
2. Bangun komunikasi dengan ortu dan guru dalam suasana yang lebih terbuka. Kita jadi enggak ragu untuk menjadikan mereka tempat bertanya, sekaligus jadi tempat curhat.
3. Jauhkan diri dari tindakan atau perilaku yang bisa dikategorikan berisiko terhadap HIV/AIDS, baik terhadap kita sendiri maupun bersama teman-teman lain.
sumber: Harian kompas, Jumat, 15 Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar