SEBAGAI remaja, waktu kita lebih banyak kita habiskan dengan teman sesama remaja daripada dengan orang tua atau anggota keluarga lain. Gimana enggak, kita bersama-sama di sekolah dari pagi sampai siang, belum lagi kalau ada ekstra kurikuler. Interaksi yang intensif ini juga disertai oleh fenomena yang disebut peer pressure atau tekanan teman sebaya. Kita tentunya bisa merasakan betapa besar pengaruh teman sebaya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari cara berbicara, berpakaian, sampai bertingkah laku, kita tidak hanya mengikuti apa yang diajarkan dan diarahkan oleh orang tua di rumah, tetapi juga memperhatikan dan mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-teman sebaya. Dengan intensitas hubungan seperti itu, tidak heran kalau sumber informasi yang dianggap paling penting oleh remaja adalah sesama remaja sendiri. Informasi yang beredar di kalangan remaja bisa berupa hal yang tidak krusial seperti seputar masalah mode dan bintang film atau grup musik pujaan, tetapi juga bisa berupa informasi yang sangat penting seperti masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, remaja sangat terdorong untuk mencari tahu informasi seputar seksualitas. Base line survey yang dilakukan oleh Youth Centre PKBI di beberapa kota (Cirebon, Tasikmalaya, Singkawang, Palembang, dan Kupang) tahun 2001 mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi terutama didapat dari teman sebaya, disusul oleh pengetahuan dari televisi, majalah atau media cetak lain, sedang orang tua dan guru menduduki posisi setelah kedua sumber tadi. Oleh karena itulah, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya (peer). Kalau peer mempunyai pengetahuan yang memadai, maka dia akan dapat memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk mitos-mitos yang menyesatkan. Hal ini tentunya sangat membahayakan, apalagi mengingat bahwa mitos yang menyesatkan tadi bisa berakibat fatal terhadap masa depan remaja itu. Bayangin aja kalau karena kurang pengetahuan atau mempercayai mitos yang salah, seorang remaja sampai hamil atau tertular penyakit menular seksual (PMS).
Dengan menyadari hal ini, maka Youth Center PKBI di seluruh Indonesia mengembangkan konsep yang disebut Peer Education, yaitu pendidikan bagi remaja oleh remaja. Sebelum menjadi peer educator, para remaja ini mendapat pendidikan dulu mengenai masalah-masalah remaja, termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi dari para ahli di PKBI. Setelah itu, diharapkan mereka dapat menularkan pengetahuannya tadi ke rekan-rekan sebayanya, serta mempengaruhi mereka untuk mengambil keputusan yang sehat dan bertanggung jawab. Pada intinya peer educator (PE) berperan sebagai pemberi informasi bagi rekan sebayanya. Kegiatan yang dilakukan oleh PE bermacam-macam, misalnya, memfasilitasi diskusi kelompok, memberikan informasi secara interpersonal, menjadi motivator untuk kegiatan-kegiatan remaja di sekolah atau di lingkungannya, dan juga memberikan peer counseling. Dalam hal ini remaja berperan mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di antara rekan-rekan sebayanya, kemudian merujuk rekan yang mengalami masalah tadi ke konselor ahli yang ada di youth center.
Oleh karena pentingnya upaya membentuk kegiatan peer education ini diyakini di berbagai belahan dunia, maka seringkali diadakan forum internasional yang bertujuan untuk berbagi pengalaman dan memperoleh tambahan materi-materi baru sehubungan dengan perkembangan terakhir di dunia kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan seksualitas. Untuk mengikuti forum ini biasanya dipilih peer educator yang aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama Youth Center dalam upaya memberikan informasi seputar kesehatan reproduksi remaja, termasuk pencegahan PMS, AIDS dan kehamilan yang tidak dikehendaki. Peer Educator yang dipilih tentu saja juga yang bisa berbahasa Inggris dan bisa mewakili dan menyuarakan pendapat remaja Indonesia seusianya. Sejalan dengan konsep peer education ini pulalah, UNFPA (United Nations Population Fund, suatu badan PBB yang mengurusi masalah kependudukan) memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia untuk mendirikan sebelas youth center di berbagai kota yaitu Medan, Palembang, Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Semarang, Surabaya, Pontianak, Singkawang, Manado, dan Kupang. Pendirian Youth Center ini oleh dilakukan oleh PKBI berkoordinasi dengan BKKBN serta berbagai instansi yang terkait, misalnya Depdiknas, Depkes, dan lain-lain..
Selain program peer education, Youth center memiliki berbagai pelayanan seperti konseling, pemeriksaan medis, diskusi, ceramah, kursus keterampilan, internet, siaran radio, serta penerbitan buletin. Selain sebelas youth center yang didanai oleh UNFPA, PKBI juga memiliki 16 youth center lain di beberapa kota di Indonesia yang, dengan dana mandiri, juga memiliki program peer education . Akan tetapi, jangan dikira program peer education ini akan membuat remaja yang terlibat di dalamnya menjadi terlalu serius dan menggurui teman sebayanya. Sama sekali tidak! Walaupun ini merupakan program serius, pelaksanaannya tetap santai dengan gaya khas remaja. Dalam memberikan informasi kepada rekan sebaya, para peer educator ini dibekali dengan berbagai macam game atau permainan yang menarik, yang membuat orang belajar tanpa merasa digurui. Kegiatan yang dilakukan juga bersifat rekreasional, seperti camping, pentas musik, pameran, bazaar dan macam-macam lagi kegiatan yang fun bagi remaja. Selain itu, Youth Center juga menjadi tempat mangkal yang sangat cool bagi remaja, karena selain bisa berkonsultasi langsung dengan para relawan yang ada, kita juga bisa mengakses internet dan nonton film video.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar