Situasi maraknya pornografi sebagai media yang menyesatkan hingga berimplikasi terhadap dekadensi moral, kriminalitas dan kekerasan seks yang dilakukan oleh remaja, sesunguhnya bukan sebuah kasus baru yang mengisi lembaran surat kabar ataupun media elektronik. Kasus-kasus kekerasan seksual, Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) pada remaja dan sejenisnya, nampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan, sehingga “seolah-olah” problem ini dianggap “kasuistik” yang tidak penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal timbulnya kasus-kasus seputar KTD remaja, kekerasan seksual, Penyakit Menular Seksual pada remaja bahkan sampai aborsi tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja.
Pendidikan Seks sama dengan Pornografi ?
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk “mengerem” kasus-kasus di atas, sampai saat ini masih saja diperdebatkan (bahkan banyak yang enggak setuju), Sementara pornografi tiap saat ditemui remaja. Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja haus akan informasi mengenai persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Penelitian Djaelani yang dikutip Saifuddin (1999:6), menyatakan bahwa 94 % remaja menyatakan butuh nasihat mengenai seks dan kesehatan reproduksi. Namun repotnya sebagian besar dari remaja justru tidak dapat mengakses sumber informasi yang tepat. Jika mereka kesulitan untuk mendapatkan informasi melalui jalur formal, terutama dari lingkungan sekolah dan petugas kesehatan, maka kecenderungan yang muncul adalah coba-coba sendiri mencari sumber informal. Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B. Hurlock (1994:226), informasi mereka coba penuhi dengan cara membahas bersama teman-teman, buku-buku tentang seks atau mengadakan percobaan dengan jalan mastrubasi, bercumbu atau berhubungan seksual. Kebanyakan masih ada anggapan bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi dinilai masih tabu untuk dibicarakan dengan remaja. Ada kekhawatiran (asumsi) untuk membicarakan persoalan seksualitas kepada remaja, sama halnya memancing remaja untuk melakukan tindakan coba-coba. Sebenarnya masalah seksualitas remaja adalah problem yang tidak henti-hentinya untuk diperdebatkan, ada dua pendapat tentang perlu tidaknya remaja mendapatkan informasi seksualitas. Argumen pertama memandang bila remaja mendapat informasi tentang seks, khususnya masalah pelayanan kesehatan reproduksi justru akan mendorong remaja melakukan aktivitas seksual dan promiskuitas lebih dini. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa remaja membutuhkan informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan implikasi pada perilaku seksual dalam rangka menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran terhadap kesehatannya.
Remaja sendiri merupakan kelompok umur yang sedang mengalami perkembangan. Banyak diantara remaja berada dalam kebingungan memikirkan keadaan dirinya. Sayangnya, untuk mengetahui persoalan seksualitas masih terdapat tembok penghalang. Padahal mestinya jauh lebih baik memberikan informasi yang tepat pada mereka, daripada membiarkan mereka mencari tahu dengan caranya sendiri. Pendidikan seksualitas masih dianggap sebagai bentuk pornografi, padahal dalam gambaran penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Seksualitas PKBI-DIY di wilayah Yogyakarta pada pertengahan tahun 2000 terhadap persepsi remaja dan guru (mewakili orang tua), anggapan tersebut tidak sepenuhnya terbukti.
Tabel Pendidikan Seks sama dengan Pornografi
Responden Jawaban YA Jawaban TIDAK
Guru 14,29 % 85,71 %
Siswa 0,00 % 100 %
Selama ini pendidikan seks dipersepsikan sebagai sebuah hal yang sifatnya pornografi yang tidak boleh dibicarakan apalagi oleh remaja. Dari hasil kuesioner menggambarkan hanya sekitar 14,29 % (responden guru) yang menyatakan bahwa pendidikan seks sama dengan pornografi. Dari remaja sendiri anggapan tentang pendidikan seks sama dengan pornografi tidak terbukti (0 %).
Remaja dan Pendidikan seksualitas ?
Masih teramat sedikit pihak yang mengerti dan memahami betapa pentingnya pendidikan seksualitas bagi remaja. Faktor kuat yang membuat pendidikan seksualitas sulit diimplementasikan secara formal adalah persoalan budaya dan agama. Selain itu faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah kentalnya budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Seksualitas masih dianggap sebagai isu perempuan belaka. Pornografi merupakan hal yang ramai dibicarakan karena berdampak negatif, dan salah satu upaya membentengi remaja dari pengetahuan seks yang menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar. WHO menyebutkan bahwa ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas; Pertama adalah mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua adalah bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS. Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seksualitas yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri. Maka pendidikan seksualitas harus mempertimbangkan, pertama pendidikan seksualitas harus didasarkan penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan, kedua berdasarkan pada kesetaraan jender, ketiga partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan seksualitas, keempat bukan cuman dilakukan secara formal tetapi juga non formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar