Sabtu, September 13, 2008

Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk remaja Sebuah Kebutuhan ataukah Malapetaka?

Beberapa saat yang lalu, masyarakat digemparkan oleh berita tentang cuti hamil untuk siswi yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), yang dilansir secara besar – besaran di media massa. Disusul kemudian berbagai komentar dan tanggapan dari pihak masyarakat terhadap usulan dari Ibu Khofifah, selaku Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan / Kepala BKKBN tersebut, termasuk salah satunya adalah Kakanwil Yogyakarta ( dimuat di Harian Bernas Feb 2001) yang menyatakan bahwa siswi yang hamil tersebut harus dihukum seberat – beratnya bukannya malah diberikan kelonggaran dengan cuti hamil. Nh, kalo kayak gini bakal muncul pertanyaan dalam benak kita bagaimana dengan “sang pacar tercinta” yang bikin hamil tersebut, apakah dia juga bakal dapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, ataukah justru ia bebas berlenggang, lolos dari sanksi yang diterapkan oleh pihak sekolah? Di lain pihak bakal muncul permasalahan lain dengan maraknya kasus kehamilan tidak diinginkan ini, yaitu apakah hal ini diakibatkan karena remaja terlalu banyak menerima informasi tentang seksualitas ataukah justru karena kita nggak tahu sama sekali? Akibatnya banyak anggapan miring tentang diberikannya pendidikan seksualitas untuk remaja karena justru akan membuat remaja mencoba – coba / bereksperimen dengan perilaku seks yang beresiko. Nah,lo…bener nggak sih opini ini?


Masalah kesehatan reproduksi memang merupakan sebuah masalah yang pelik bagi remaja, karena masa remaja merupakan masa di mana manusia mengalami perkembangan yang pesat baik fisik, psikis maupun sosial. Di mana perubahan ini juga akan berdampak pada perilaku remaja tersebut. Perkembangan fisik ditandai dengan semakin matang dan mulai berfungsinya organ – organ tubuh termasuk organ reproduksinya. Perubahan psikis yang dialami pada masa pubertas tersebut adalah lebih perhatian terhadap diri sendiri, lebih perhatian dan juga ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, dengan menjaga penampilanya. Termasuk dalam perubahan secara psikis ini adalah inginnya si remaja manjadi mandiri tanpa harus diatur – atur lagi oleh orang tua. Sedangkan perubahan social yang dialaminya adalah bahwa remaja pada fase ini akan lebih dekat dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Hal ini tentu banyak sekali akibatnya, salah satunya adalah sumber informasi, karena remaja cenderung lebih dekat dengan teman sebayanya maka kemungkinan iapun akan lebih percaya pada informasi yang berasal dari teman – temannya, termasuk informasi tentang seksualitas. Padahal informasi seperti itu belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Inilah yang akhirnya memunculkan mitos-mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja. Mitos yang paling ngetren di kalangan remaja adalah hubungan seks ( HUS ) sekali nggak bakalan bikin hamil. Atau HUS adalah tanda cinta dan sayang khususnya di hari-hari spesial seperti ‘hari jadian’, ultah ataupun valentine day. Namun ternyata dari kejadian inilah angka KTD pun membengkak setiap tahunnya. Salah satu cara menyikapi mitos-mitos tersebut adalah dengan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dengan tepat dan benar, dan hal ini tercakup dalam pendidikan kesehatan reproduksi / seksualitas. Pendidikan seksualitas bukan sekedar memberi informasi yang lengkap mengenai seksualitas, misalnya dari sudut pandang bilogis yaitu tentang organ reproduksi tetapi juga mengajarkan ketrampilan untuk memilih dan mengkomunikasikan pilihannya, serta mengajarkan laki-laki untuk lebih menghormati perempuan dengan demikian pendidikan seksualitas justru melindungi remaja dari resiko hubungan seks yang tidak terlindungi. Mengingat rasa ingin tahu remaja yang besar maka memaparkan fakta dan strategi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pendidikan seksualitas. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar pendidikan seks yang diberikan sesuai dengan kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri.

Kriteria tersebut adalah :

1. pendidikan seksualitas harus didasarkan pada penghormatan atas hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan

2. berdasarkan pada kesetaraan gender

3.melibatkan remaja untuk berpartisipasi dalam semua aspek pendidikan seksualitas
4. dilakukan secara formal maupun non formal

5. pendidikan seksualitas haruslah dilengkapi dengan peningkatan akses terhadap layanan yang terjangkau, friendly ( ramah ), dan tidak membeda-bedakan


Nah, kita bisa lihat khan, kalau pendidikan seksualitas tuh merupakan sebuah kebutuhan bagi kita para remaja, untuk mengurangi dahaganya atas informasi seksualitas yang benar dan bertanggung jawab yang tidak pernah kita dapatkan dari manapun, dari keluarga, sekolah maupun dari sumber-sumber lain. Apalagi saat ini tantangan yang dihadapi oleh remaja tidaklah ringan di mana kita musti berada di jaman yang serba modern, semua serba ada dan tersedia sehingga hanya kita sendirilah yang bisa mengontrol perilaku berkaitan dengan masalah seksualitas. Sehingga dengan adanya bekal pendidikan seksualitas ini harapannya adalah kita bakal menjadi lebih berdaya, bisa memutuskan mana yang terbaik untuk kita dengan segala resiko yang harus ditanggung. Masyarakat menganggap bahwa pendidikan seksualitas merupakan sebuah malapetaka karena adanya persepsi / anggapan yang keliru tentang pendidikan seks itu sendiri di mana pendidikan seks selalu dianggap identik dengan mengajari remaja untuk berhubungan seks, padahal masalah seksualitas itu sangatlah luas dari semenjak manusia lahir sampai ia mati. Kebutuhan ataukah malapetaka sangat tergantung pada bagaimana masyarakat bisa memahami remaja, sebagai seorang yang sedang berada di persimpangan jalan bingung untuk memilih jalan mana yang harus ia lalui, dan pendidikan seksualitas itu berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi remaja.


Tidak ada komentar: